Kasus.co.id, Jakarta- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan meningkatkan inventarisasi kepemilikan sertifikat lahan perusahaan sawit dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Total sudah ada 537 daftar perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia yang siap diinventarisasi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana, mengatakan pihaknya siap mengawal pendaftaran lahan perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia.
“Saat ini telah ada sekitar 537 daftar perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia yang siap diinventarisasi kepemilikan sertifikat lahannya oleh Kantor Pertanahan di masing-masing wilayah dan siap dikoordinasikan dengan Dinas Pertanian setempat terkait kepemilikan Izin Usaha Perkebunannya,” ujar Suyus, dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (23/7/2024).
Suyus mengatakan, beberapa tahun belakangan sawit adalah salah satu isu yang menjadi fokus pemerintah, khususnya terkait masalah administrasi, keuangan, dan penyelesaian sengketa yang terjadi.
“Kalau data yang kita punya, pemerintah sudah mengeluarkan izin bagi sekitar 16 juta hektare sawit, meskipun memang yang sudah bersertifikat itu baru sekitar 7,9 atau 8 juta hektare dengan total 11 ribu bidang tanah,” kata dia.
“Ini menjadi perhatian karena sawit merupakan penghasil produk terbanyak di Indonesia, di satu sisi memang konfliknya cukup tinggi di lapangan itu,” sambungnya.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN, R.B. Agus Widjayanto juga menyampaikan komitmennya mengawal pengelolaan administrasi terkait lahan sawit, terutama Hak Guna Usaha (HGU) dan sengketa pertanahan.
“Tugas kita mengawal program strategis nasional dan juga kegiatan-kegiatan pelayanan pertanahan lain. Kita juga mendengar aspirasi masyarakat yang disampaikan lewat Ombudsman dan survei KPK juga terhadap kita,” kata Agus.
Konflik Agraria Meningkat 12 Persen
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa kasus konflik agraria di Indonesia meningkat 12% pada tahun 2023, mencapai 241 letusan konflik dari 212 letusan konflik pada tahun sebelumnya.
KPA mengidentifikasi perkebunan sebagai sumber utama konflik, dengan bisnis sawit menjadi pemicu utama.Menurut Sekjen KPA, Dewi Kartika, letusan konflik terjadi di berbagai sektor, tetapi areal perkebunan mendominasi statistik.
Pada tahun 2023, 108 letusan konflik terjadi di area perkebunan, melibatkan luas tanah seluas 124,545 hektar dan mengakibatkan dampak pada 37.553 Kepala Keluarga (KK).
Ini menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya mencatat 99 letusan konflik agraria di sektor perkebunan.
Dewi Kartika menegaskan bahwa bisnis kelapa sawit masih menjadi pemicu utama meningkatnya konflik agraria. KPA mencatat bahwa 88 dari total 108 letusan konflik di sektor perkebunan terkait dengan industri sawit, menyumbang sekitar 82% dari total konflik agraria di sektor tersebut.
Ia menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan sawit yang terus memperluas alokasi tanah untuk perkebunan sawit tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial dan lingkungan.
“Bisnis sawit, kebijakan sawit itu tidak bisa lagi terus menerus mengabaikan bahwa memang ada PR yang cukup berat dalam kebijakan yang terkait dengan alokasi tanah terkait perkebunan sawit yang dari tahun ke tahun terus meluas dan diberikan kelonggaran kebijakan,” tegas Dewi, 16/01/2024.
Selain menjadi penyebab meningkatnya konflik, operasi perusahaan-perusahaan perkebunan di berbagai wilayah Indonesia juga terkait dengan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Sepanjang tahun 2023, KPA mencatat kasus represi dan kekerasan dari operasi perkebunan yang telah mengakibatkan kriminalisasi terhadap 252 orang. Lebih lanjut, 52 orang mengalami penganiayaan, dua orang tertembak, dan tiga orang kehilangan nyawa mereka sebagai akibat dari ketegangan di sektor perkebunan.
“Dalam kondisi ini, data di atas sudah cukup mencerminkan bagaimana krisis agraria yang terus menerus terjadi di industri perkebunan, utamanya bisnis sawit dan telah melahirkan korban-korban kekerasan serta hilangnya nyawa,” ungkap Dewi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa di balik ketenaran industri kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati terbesar di dunia, terdapat konsekuensi serius terhadap masyarakat lokal dan lingkungan.
Perlu adanya solusi yang komprehensif dan berkelanjutan yang melibatkan pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan agraria yang semakin kompleks.