Kasus.co.id, Jakarta – Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan mayoritas masyarakat menganggap tuntutan dan vonis jaksa ke Harvey Moeis atas kasus korupsi timah tidak setimpal.
Hal itu disampaikan Djayadi dalam rilis survei terbarunya pada periode 20-28 Januari 2025, bertajuk Kinerja Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi dalam 100 Hari Pemerintahan Prabowo Subianto.
“Terlihat jelas sekali mayoritas masyarakat masih menganggap tuntutan 12 tahun penjara kepada Harvey Moeis itu tidak setimpal, baik masyarakat yang tahu isu ini maupun masyarakat secara umum,” kata Djayadi dipantau secara daring, dari Jakarta, Minggu (9/2/2025).
Diketahui, sebanyak 60,6 persen responden yang tahu kasus korupsi itu dan 54,6 persen masyarakat secara umum mengaku tuntutan jaksa tersebut tidak setimpal sama sekali.
Untuk kategori vonis hakim 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 Miliar terhadap Harvey Moeis terdapat sebanyak 72 persen masyarakat yang tahu kasus ini, mengaku vonis itu tidak setimpal. Sementara, 64,4 persen masyarakat secara umum juga mengatakan vonis itu tidak setimpal sama sekali.
“Jadi benar-benar, hukuman itu kayaknya kalau kita perhatikan dari angka luar biasa yang tinggi ini masyarakat menyatakan geram, terhadap hukuman yang benar-benar dianggap tidak adil itu, atau tidak setimpal dibandingkan dengan jenis kejahatannya dan kerugiannya,” papar Djayadi.
Sebagai informasi, survei ini dilakukan dengan metode wawancara secara tatap muka dengan populasi yang dipilih secara acak 1.220 responden. Adapun margin of error dari ukuran sampel tersebut sebesar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Diketahui, Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015-2022.
Hakim Ketua Eko Aryanto mengatakan Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama.
Selain pidana penjara, Harvey juga dikenakan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Harvey berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider 2 tahun penjara.
Dalam menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Harvey dilakukan saat negara sedang giat melakukan pemberantasan terhadap korupsi.
“Sementara hal meringankan, yaitu terdakwa berlaku sopan di persidangan, mempunyai tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum,” ucap Hakim Ketua menambahkan.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif menyebutkan, vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa kasus korupsi timah Harvey Moeis tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (MA) yang berlaku.
“Sudah ada peraturan MA tentang panduan untuk pemberian hukuman, termasuk khususnya yang berhubungan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Memang putusan yang pertama tidak mengikuti panduan yang MA,” ujar Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 itu di Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2025).
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Salinan Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah dijelaskan tata cara pengkategorian kerugian negara berdasarkan nilai korupsi sebuah kasus.
Dalam Pasal 6 ayat 1 dijelaskan kerugian paling berat jika kerugian negara di atas Rp100 miliar, kategori berat lebih dari Rp25 miliar, kategori sedang yakni Rp1 miliar hingga Rp25 miliar, dan kategori ringan yakni Rp200 juta hingga Rp1 miliar.