Kasus.co.id, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) angkat bicara mengenai wacana aturan kemasan rokok polos tanpa merek.
Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
“Ini diakomodasi diusulkan dalam draft Permenkes, turunan dari PP Kesehatan. Dari sisi kami, Kemenkeu kami sampaikan masukan juga ke Kemenkes,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani dalam APBN Kita, Jakarta, Senin (23/9/2024).
Menurutnya, rencana aturan kemasan rokok polos memiliki risiko dalam aspek pengawasan.
Sebab, pihaknya tak bisa membedakan jenis rokok yang kemudian menentukan golongan rokok. Padahal, itu menjadi basis Bea Cukai melakukan pengawasan.
“Bahwa kalau kemudian kemasan rokok menjadi polos, dari sisi pandangan kami, punya risiko dalam aspek pengawasan. Sebab kita tidak bisa membedakan antara jenis rokok yang kemudian itu menentukan golongan dan juga bisa menjadi basis kita untuk pengawasan,” katanya.
Dia mengatakan, risiko itu menjadi nyata jika pihaknya tak bisa melihat secara kasat mata untuk membedakan jenis rokok.
“Dan risiko itu bisa menjadi nyata kalau kemudian kemasan, kita tidak bisa kasat mata membedakan jenis dan rokoknya, apalagi nanti isinya, yang kemudian itu menjadi deteksi awal kita dari jenis kemasan yang sudah ada saat ini,” ujarnya.
“Kami sudah menyampaikan masukan ke Kemenkes dan tentunya dari industri juga sudah sampaikan masukan Kemenkes mengenai Permenkes,” tambahnya.
Pakar Soroti Kebijakan RPMK
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani melalui keterangan tertulis menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada sektor-sektor padat karya, khususnya pada industri manufaktur.
“Regulasi ini membebankan tanggung jawab penyakit tidak menular (PTM) sepenuhnya pada produsen pangan olahan dan industri hasil tembakau, padahal PTM disebabkan oleh banyak faktor lain, seperti gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, merokok, alkohol, paparan polutan, dan stres. Beban ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu atau dua sektor,” jelas Shinta dalam keterangannya ditulis Rabu (18/9/2024).
Shinta menegaskan bahwa kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan sektor-sektor penting.
Ia menyoroti bahwa dalam konteks pangan olahan, produk ini hanya menyumbang sekitar 30% dari konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) di Indonesia, sementara 70% berasal dari pangan non-olahan.
“Pembatasan batas maksimal GGL pada produk pangan olahan perlu dikaji ulang efektivitasnya dalam mengatasi PTM karena tidak menyasar konsumsi GGL secara menyeluruh. Hal serupa berlaku untuk industri hasil tembakau. Regulasi yang terlalu ketat akan mendorong munculnya produk ilegal dan melemahkan industri formal,” tambahnya.
Dalam hal industri hasil tembakau, Shinta juga menyampaikan bahwa kebijakan seperti kemasan polos dan pembatasan kadar tar serta nikotin tidak hanya menekan industri formal tetapi juga meningkatkan risiko peredaran produk ilegal.
“Kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Sementara itu, industri formal yang mematuhi regulasi justru terancam,” tegasnya.