Kasus.co.id, Jakarta – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat melakukan sidang perdana untuk empat terdakwa yang terlibat dalam kasus korupsi terkait proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama di Manggelewa, Kabupaten Dompu.
Sidang tersebut dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh I Ketut Somanasa, dengan dua hakim anggota yaitu Irlina dan Irawan.
Agenda sidang pertama ini bertujuan untuk membacakan dakwaan terhadap keempat terdakwa, yang semuanya terlibat dalam proyek yang dilaksanakan pada tahun 2017 tersebut.
Pada sesi tersebut, tim jaksa penuntut umum yang terdiri dari Budi Tridadi Wibawa, Fajar Alamsyah Malo, dan Muhamad Mauludin hadir untuk membacakan dakwaan yang menjelaskan peran serta keterlibatan masing-masing terdakwa dalam proyek yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Fajar Alamsyah Malo dalam pembacaan dakwaan menyatakan bahwa pelaksanaan proyek perencanaan pembangunan RS Pratama Manggelewa oleh Dinas Kesehatan Dompu pada tahun 2017 dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kualifikasi sebagai konsultan perencana, yaitu Fery alias Hery.
Dalam proyek tersebut, Fery diketahui telah menggunakan CV Fiscon yang berkontrak dengan pemerintah. Ia diduga memberikan uang sebesar Rp48,4 juta atau 3 persen dari total anggaran perencanaan kepada pemilik perusahaan perencana, Ika Taruna Sumarprayono.
Selanjutnya, jaksa juga mengungkap bahwa Fery ternyata tidak pernah menjalankan tugas pengawasannya dan justru menyerahkan tiga persen anggaran pengawasan kepada Christin Agustiningsih, yang merupakan direktur konsultan pengawas dari CV Nirmana Consultant.
Christin menerima uang sebesar Rp49,9 juta untuk proses pengawasan yang tidak pernah dilaksanakan dengan baik.
Dalam perkara ini, Muh. Kadafi Marikar sebagai Direktur PT Sultana Anugrah dari Makassar juga memiliki kontrak dengan pemerintah untuk pelaksanaan proyek tersebut.
Namun, Kadafi terlambat dalam mempertanggungjawabkan kehadirannya di lokasi proyek serta pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan kesepakatan kontrak.
Ia diketahui mengalihkan resort pekerjaan kepada Benny Burhanudin, yang tidak terlibat sebagai bagian dari tim inti PT Sultana Anugrah.
Keadaan tersebut membuat proyek tidak dapat terkontrol dan tidak memenuhi spesifikasi teknis yang diharuskan.
Sementara Maman selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan kuasa pengguna anggaran (KPA) dari Dinas Kesehatan Dompu didapati membiarkan proyek tersebut tetap berada di bawah kendali Benny yang bukan merupakan pihak kontraktor.
Dari investigasi jaksa terungkap bahwa Kadafi menerima keuntungan dari proyek tersebut sebesar Rp200 juta atau 30 persen dari total nilai keuntungan.
Dalam dakwaan juga terungkap bahwa PT Sultana Anugrah, yang dipimpin Kadafi, sengaja mengurangi volume pekerjaan dalam beberapa aspek, seperti pemasangan batu kali, beton, dinding, plafon, serta mutu konstruksi lainnya.
Akibat dari pengurangan ini, proyek berpotensi mengalami keruntuhan, seperti yang diungkap oleh tim ahli dari Fakultas Teknik Universitas Mataram.
Jaksa dalam dakwaannya juga mengungkapkan bahwa total kerugian keuangan negara akibat proyek tersebut mencapai Rp15,67 miliar, dengan besaran Rp1,35 miliar berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
Di akhir sidang, jaksa menuntut agar keempat terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.