Kasus.co.id, Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus), Febrie Adriansyah diminta oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk melakukan perluasan Penyidikan dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah.
Permintaan itu, disampaikan melalui surat kepada JAM-Pidsus dengan tembusan kepada Jaksa Agung dan Presiden Prabowo Subianto.
Sebab, MAKI menemukan ada keganjilan dalam Penyidikan yang dipandang tidak sesuai dengan tema besar yang diusung Kejaksaan Agung yakni dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023 yang merugikan Negara sebesar Rp193,7 triliun.
Keganjilan itu adalah tidak adanya tersangka yang ditetapkan berasal dari unsur KKKS, broker importir minyak mentah dan broker importir BBM yang merugikan Negara total sebesar Rp11,7 triliun.
“Padahal, telah beredar luas di masyarakat nama-nama broker minyak mentah dan BBM yang menguasai Pertamina selama kurun waktu 10 tahun sejak 2014. Diantaranya, FPS alias James, ST, DNW dan Widodo Ratanachaitong,” jelasnya.
“MAKI meminta Jaksa Penyidik segera melakukan pemeriksaan terhadap nama-nama tersebut guna menghindari kesan adanya praktik tebang pilih,” sambung Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Kamis (27/3/2025).
Seperti diketahui, berdasarkan siaran pers Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Nomor: PR-169/101/K.3/Kph.3/02/2025, tertanggal 25 Februari 2025, Penyidik telah menetapkan tujuh tersangka dalam perkara ini.
Ketujuh tersangka itu yakni, Riva Siahaan, Sani Dinar Saifuddin, Yoki Firnandi, Agus Purwono, Muhammad Kerry Adrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo. Menyusul kemudian dua tersangka lain, Maya Kusmaya dan Edward Corne.
Sembilan tersangka pada pokoknya dituduh melakukan dugaan korupsi dalam kegiatan blending di depo milik PT. Orbit Terminal Merak dan me-mark up kontrak shipping transportasi minyak mentah.
“Sehingga, Negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum, dimana tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku beneficial owner PT. Navigator Katulistiwa, disebut mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Keganjilan lain, menurut Boyamin, yakni terkait dalil tidak logis yang dibangun Kejaksaan Agung, bahwa telah terjadi kerugian Negara pada 2023 atas kebijakan Pemerintah dalam pemberian kompensasi dan pemberian subsidi dengan kerugian Negara total dinyatakan sebesar Rp147 triliun.
“Ternyata para tersangka tidak memiliki kewenangan untuk mengambil kebijakan pemberian kompensasi dan pemberian subsidi. Kejaksaan Agung harus memberikan klarifikasi kepada masyarakat soal ini,” ujarnya.
Sementara itu, MAKI menemukan dugaan markup hingga melebihi 30 persen dalam kontrak shipping (pengiriman) di PT. PIS yang melibatkan lima perusahaan pelayaran, yakni PT. SMT, PT. SOL, PT. AS, PT. WSHI dan PT. BSTA yang memiliki kekuatan armada sebanyak 40 kapal. Namun tidak pernah dilakukan pemeriksaan oleh Jaksa Penyidik.
Boyamin menegaskan, Kejaksaan Agung perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat lebih terang benderang, tentang hubungan kerugian Negara sebesar Rp193,7 triliun yang terdiri dari lima komponen itu dengan peran dan perbuatan para tersangka.
Sehingga, lanjut Boyamin, tergambar mensrea (niat jahat) dan kecukupan alat bukti serta terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi, sesuai yang dipersangkakan terhadap para tersangka
“Lima komponen kerugian Negara tersebut ternyata tidak ada kaitannya dengan urusan blending dan markup kontrak shipping transportasi minyak mentah. Hubungan kerugian Negara dengan peran para tersangka tidak jelas,” tuturnya.
Apabila, tambah Boyamin, dihubungkan dengan profil sembilan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, MAKI berpandangan belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
“Penyidik perlu memperluas dengan menjerat kluster yang lebih besar untuk mendapatkan fakta terang adanya dugaan korupsi tata kelola minyak mentah, sekaligus menjerat tersangka yang sebenarnya,” pungkas Boyamin.