Kasus.co.id, Jakarta – Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta mulai menyidangkan gugatan yang diajukan oleh mantan pegawai yang sebelumnya bekerja sebagai tenaga pemandu dan penunda kapal di Pelabuhan Tanjung Priok.
Gugatan ini diajukan setelah puluhan pegawai/karyawan di-PHK secara sepihak setelah terjadinya perubahan manajemen dari Koperasi Pegawai Maritim Pelindo ke PT Jasa Armada Indonesia.
Salah satu penggugat, Satiaji, mengungkapkan bahwa ia bekerja sejak 2008 di bawah naungan koperasi, yang pada saat itu menjadi jalur bagi para pekerja yang ingin terlibat dalam operasional pelabuhan, khususnya di bidang pemanduan kapal.
Pada 2015, manajemen berubah dan operasional sepenuhnya diambil alih oleh PT Jasa Armada Indonesia, anak perusahaan PT Pelindo.
Namun, pada 2018, kebijakan internal diubah, yang mengakibatkan sebagian pekerja dipindahkan ke perusahaan vendor.
Satiaji menolak skema alih daya tersebut, karena ia merasa hak dan kesejahteraan yang diterimanya sebagai pekerja inti akan sangat berkurang.
“Saya tetap menolak divendorkan, karena dari segi kesejahteraan kami sudah sejahtera. Bahkan anak saya yang waktu itu dirawat di ruang AISU, semua ditanggung. Kami bekerja di kapal yang merupakan pekerjaan inti dan tidak bisa dialihdayakan begitu saja,” ujar Satiaji usai mengikuti sidang gugatan yang berlangsung di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta Pusat.
Penolakan tersebut, lanjut Satiaji, justru dibalas oleh pihak perusahan dengan memberikan surat mutasi yang disebutnya sebagai ‘Mutasi Off’ dan ia terima secara mendadak pada malam hari. Sehingga sjak saat itu, ia tak lagi diizinkan masuk di area kerja.
Para penggugat (enam orang) yang diwakili oleh Satiaji menjelaskan, bahwa perkara ini telah dibawa ke Dinas Ketenagakerjaan dan menghasilkan rekomendasi agar para pekerja dipekerjakan kembali.
Namun, rekomendasi itu tidak pernah dijalankan oleh pihak perusahaan, sehingga langkah hukum ke PHI pun diambil, dengan didampingi oleh kuasa hukumnya.
“Rekomendasi Disnaker tegas menyatakan bahwa mereka harus dipekerjakan kembali. Tapi tidak diindahkan, sehingga sekarang kami gugat ke PHI. Kami membutuhkan kepastian status pekerjaan kami di PT Jasa Armada Indonesia (JAI),” ungkapnya.
Sidang di Pengadilan Hubungan Industrial kini telah memasuki tahap ke-7, di mana pihak penggugat sudah menyampaikan seluruh keterangannya.
Dalam perkara ini, pihak tergugat adalah PT Jasa Armada Indonesia. Sementara itu, Jaksa Pengacara Negara turut mendampingi pihak tergugat karena status PT JAI sebagai anak usaha dari BUMN.
Sidang kali ini, dihadiri Herdiyanto Sutantyo SH MH, Ketua Majelis Hakim, Lita Sari Seruni SE, H, MH, Dr. Purwanto SH, MH, dan Rustiani SH, MH (Panitera)
Para pekerja menegaskan, mereka tidak menutup kemungkinan untuk kembali bekerja apabila perusahaan bersedia menyelesaikan perkara ini secara adil.
Namun jika tidak, mereka akan tetap menuntut hak atas pekerjaan maupun kompensasi yang layak secara hukum.
Di persidangan, Sahala Aritonang selaku Saksi Ahli yang merupakan Mantan Hakim Ad Hoc di Pengadilan Tanjung Karang menjelaskan, Yang bersentuhan dengan Produk, tidak bisa / tidak boleh di kontrak.
Disebutkan, dalam Pasal 82, Undang Undang PHI Tahun 2024, bahwa ” Gugatan oleh pekerja atau buruh atas pemutusan hubungan kerja berdasarkan pasal 159, hanya dapat diajukan dalam tenggat 1 tahun, atau diberitahukan oleh Perusahaan”
Menurutnya, berkaitan dengan Pasal 159 dan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan, kaitan dengan Pasal 158, Kesalahan berat yang mengandung unsur pidana, namun di UU cipta kerja sudah dihapuskan.
”Selain itu, telah mengundurkan diri, dimana setelah lepas satu (1) tahun tidak dapat menuntut hak hak nya. Hukum Acara yang berlaku di hukum industrial, diatur dalam UU PHI, ditambahkan dengan kuasanya di persidangan bahkan mencabut kuasa nya tidak ada larangan. Namun pokok perkara, tetap mengikuti kuasa pertama dalil dalilnya,” terangnya
Apabila pekerja buruh tidak bekerja, tidak bayar upahnya. Namun di uu ketenagakerjaan ada huruf b dan c. Sementara, pekerja mau melakukan pekerjaan dan pengusaha tidak mau membayar, itu wajib dibayar, pungkas Saksi Ahli, Sahala Aritonang. Oisa