Kasus.co.id, Jakarta – Praktisi Hukum Lingkungan Andy Inovi Nababan melihat bahwa para terpidana kasus tata niaga timah di Bangka Belitung mendapat tekanan sosial hebat sebelum proses peradilan dimulai. Mereka ditangkap pada bulan Februari 2024, tapi kerugiaan keuangan negara baru diumumkan Mei 2024.
“Nah kampanye mereka sebagai perusak lingkungan, koruptor telah digembar-gemborkan beberapa bulan sebelumnya, dijadikan meme, joke bahkan bully di media sosial. Ini tidak fair. Proses peradilan aja belum dimulai, tapi stigma sebagai koruptor dan perusak lingkungan sudah gencar dilakukan,” ujar Andy.
Andy mengatakan banyak masyarakat yang salah paham, seakan-akan ada uang di atas meja sebanyak Rp 300 trilyun lalu dijarah.
“Saya sangat yakin bahwa itu hanya potensi. Itu pula yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung pasca vonis. Itu bukan actual loss. Tapi potential loss,” jelas Andy.
Praktisi Hukum Lingkungan tersebut menyimpulkan bahwa nilai produksi timah seluruh terpidana dan valuasi asset perusahaan tidak akan mencapai nilai kerugian negara yang dihitung Prof Bambang Hero Saharjo.
Andy menambahkan bahwa dasar hukum yang digunakan Permen Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2014 adalah untuk ganti rugi secara keperdataan bukan pidana apalagi tindak pidana korupsi.
Terbaru, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka korupsi dalam kasus tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk (TINS) periode 2015-2022. Lima korporasi itu adalah adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah menambahkan, Kejagung telah memutuskan pembebanan uang kerugian negara kepada lima korporasi itu. Rinicannya, kerugian lingkungan hidup sebesar Rp 271 triliun dari kasus timah ditanggung PT RBT sebesar Rp 38 triliun, PT SB Rp 23 triliun, PT SIP Rp 24 triliun, PT TIN Rp 23 triliun, serta PT VIP senilai Rp 42 triliun.
“Ini sekitar Rp 152 triliun,” ujar Febrie.
Febrie menuturkan, pihak yang bertanggung jawab atas sisa kerugian lingkungan hidup sebesar Rp 119 triliun masih dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Sisanya dari Rp 271 triliun yang telah diputuskan hakim itu jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab, tentunya akan kita tindak lanjuti,” kata dia.