Kasus.co.id, Jakarta – Secara tidak sengaja melintas di FYP tiktok saya group musik Sukatani dengan judul “Bayar Bayar Bayar.“ Mungkin algoritma sosmed saya concern saya di isu penegakan hukum. Ada dua hal yang ingin dibahas dalam tulisan ini. Pertama soal lirik lagu dan genre musik punk yang dibawakan dengan sangat keren oleh kelompok music asal Probolinggo ini.
Lirik lagu Bayar Bayar Bayar ini sangat simple tapi dosisnya “pas” untuk menggambarkan betapa muramnya institusi Polri saat ini. Dicoreng oleh perilaku koruptif anggotanya sendiri. Saya tahu bahwa pimpinan Polri tidak tinggal diam. Tapi hasilnya tidak sebesar yang diharapkan publik. Buktinya, berulang kali personil polisi terlibat kasus pemerasan dan tindak kriminal.
Berikut ini, saya kutip sepenggal lirik Sukatani. Mewakili fakta sosial tentang Kepolisian.
Mau bikin SIM, bayar polisi
Ketilang di jalan, bayar polisi
Touring motor gede, bayar polisi
Angkot mau ngetem, bayar polisi
Aduh, aduh, ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Mau korupsi, bayar polisi
Mau gusur rumah, bayar polisi
Mau babat hutan, bayar polisi
Mau jadi polisi, bayar polisi
Aduh, aduh, ku tak punya uang
Untuk bisa bayar polisi
Musik Punk lahir di Amerika dan Inggris (1970an). Publi tercekat kaget. Liriknya kasar dan dinyanyikan secara emosional, berteriak, tidak melodious. Di Inggris salah satu pengusungnya adalah Sex Pistol. Sukatani tidak sekasar Sex Pistol. Buat saya Sukatani masih terasa santun dan ketimuran. Namun soul pemberontakannya terasa kental.
Saya menghadiri undangan Mabes Polri untuk mendengarkan Capaian Kinerja Polri 2024 yang disampaikan langsung Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo (31/12/2024). Secara jujur dia mengakui masih ada masalah, tapi tingkat keberhasilannya sangat mengagumkan. Saya memahami bahwa sebagai pimpinan Polri dia juga mesti menyampaikan prestasi kerja institusinya. Tapi persepsi publik jauh berbeda. Hasil survey Indikator Politik Indonesia menempatkan Polri sebagai institusi paling tidak dipercaya publik, bersama DPR dan Parpol.
Dalam lirik Sukatani, tidak ada satu aspek pelayanan publik yang tidak dikorupsi Polri. Di negara totaliter, Group musik seperti Sukatani pasti dilibas. Tapi saya yakin di Indonesia tidak. Kita perlu pegiat seni dan budaya untuk tetap kritis terhadap kekuasaan dan penegakan hukum. Seluruh lirik lagu tersebut, saya pastikan mewakili keresahan masyarakat Indonesia akan pelayanan publik Polri yang masih dikotori perilaku koruptif anggotanya.
Kritik sosial yang jujur jauh lebih berfaedah daripada program public relation dengan target pecintraan secara instan dan penuh “kosmetik”.
Pengamat music dan sosiolog sepakat Punk di Eropa dan Amerika lahir sebagai perlawan ideologis kelas bawah dan kaum pekerja terhadap kapitalisme. Terus terang saya tidak terlalu memahami Punk di Indonesia, apakah lahir dari ideologi dan industri musik dan fesyen. Yang pasti ideologi perlawanan itu saya temukan secara kental di kelompok musik punk agraris asal Probolinggo yang kerap membagikan sayur saat pementasan. Mungkin wawasan musik saya sangat terbatas, tapi kita tidak hanya mendengarkan suguhan musik, tapi juga geliat ideologis kaum muda yang menghormati eksisteni petani, mengusung tema agraris dan berontak terhadap ketimpangan sosial, secara lugas dan cerdas.
Punk itu sendiri sejatinya, bukan hanya aliran musik, tapi juga fesyen, pemikiran dan komunitas. 4 hal inilah yang dipresentasikan secara lengkap oleh Sukatani, dua punk rock yang selalu memakai balaclava, kostum punk, Lirik Banyumasan, dan setiap mengusung genre musik street punk.
Bayar.. Bayar.. Bayar..